Ketika kata 'pengabdian' menjadi tameng eksploitasi

Penulis ketika menjadi volunteer

Di banyak organisasi sosial dan komunitas pendidikan, kata “pengabdian” sering banget diangkat sebagai nilai utama. Kesan yang muncul itu positif, penuh semangat kebaikan, dan bikin kita pengen ikut terlibat. Tapi kenyataannya, kata ini juga sering dipakai buat nutupin sesuatu yang gak sehat, yaitu kerja keras tanpa penghargaan yang layak.

Kadang, orang yang rela ngasih waktu dan tenaga dianggap harus ikhlas sepenuhnya. Bahkan kalau dia mulai ngomongin soal honor atau kompensasi, langsung dinilai kurang tulus. Padahal menurutku, menghargai waktu dan keahlian seseorang itu gak bikin pengabdiannya jadi kurang berarti. Justru itu bentuk penghormatan.

Aku sendiri pernah ngalamin. Dulu aku buka sesi mentoring gratis buat bantu teman-teman yang mau studi ke luar negeri. Niatnya memang tulus. Tapi makin lama, makin sering kejadian orang daftar lalu batal seenaknya. Ada yang ghosting, ada juga yang janji tapi gak muncul. Aku udah nyiapin waktu dan materi, tapi ujung-ujungnya cuma buang energi.

Akhirnya aku coba ubah jadi sistem berbayar. Harganya gak mahal, tapi cukup buat nunjukin bahwa waktu dua pihak itu sama-sams penting. Hasilnya beda banget. Peserta jadi lebih serius, datang tepat waktu, dan benar-benar ngehargain sesi mentoringnya. Komitmen mereka juga lebih tinggi karena mereka ikut invest, walaupun kecil.

Yang pengin aku tekankan di sini adalah sistem berbayar itu bukan soal cari untung. Ini soal membangun hubungan yang saling menghargai. Mentor juga manusia, punya kesibukan lain. Kalau terus diminta kerja gratis dengan alasan “pengabdian”, lama-lama bisa capek sendiri dan ngerasa dimanfaatin.

Masalahnya, ini gak cuma terjadi di komunitas kecil. Di Indonesia, banyak tenaga kesehatan dan guru honorer yang juga ngalamin hal serupa, bahkan dalam skala yang jauh lebih besar dan berat.

Lihat aja cerita para nakes di daerah terpencil yang digaji ratusan ribu per bulan, padahal mereka bertugas nyelametin nyawa. Atau guru-guru honorer yang digaji jauh di bawah UMR, bahkan kadang dibayar setelah berbulan-bulan. Mereka tetap datang ke sekolah, tetap mengajar, tetap berjuang. Tapi ketika mereka menuntut gaji yang lebih layak, mereka malah diserang balik dengan kalimat “Katanya mengabdi, kok nuntut bayaran?”

Ini pola yang sama, glorifikasi pengabdian buat nutupin kegagalan sistem menghargai manusia. Kata “ikhlas” dijadiin tameng untuk ngelak dari tanggung jawab struktural. Padahal orang yang mengabdi juga butuh makan, bayar kontrakan, dan nyekolahin anak. Mereka bukan superhero. Mereka cuma pengen dihargai atas kerja kerasnya.

Pengabdian itu penting, tapi dia gak boleh jadi alasan buat melegitimasi ketimpangan. Kita tetap bisa bantu orang lain, tapi bukan dengan mengorbankan diri sendiri terus-menerus. Dan buat organisasi, ngasih honor atau kompensasi itu bukan berarti kehilangan nilai sosial. Justru itu langkah konkret buat bikin sistem yang adil dan berkelanjutan.

Kalau terus-terusan pakai narasi pengabdian buat nutupin ekspektasi kerja tanpa penghargaan, lama-lama kita malah jadi gak sadar lagi kapan kita mulai ngeksploitasi orang baik.

Edo Danilyan
Edo Danilyan
PhD Researcher

Interested in computational biology.