Benarkah minat baca orang Indonesia itu rendah?
Rendah atau terhimpit?

Setiap kali ada pembahasan soal literasi, kita sering disuguhi kalimat klise yang menyebuth bahwa minat baca orang Indonesia itu rendah. Narasi ini berulang kali muncul, kadang sampai ada yang menyebut peringkat 60 dari 61 dunia. Tapi kalau kita coba telusuri, ternyata banyak miskonsepsi di balik klaim itu. Dsta resmi justru menunjukkan bahwa kegemaran membaca orang Indonesia perlahan meningkat. Perpusnas mencatat indeks kegemaran membaca 2024 sudah berada di angka 72,44, kategori ini termasuk dalam level sedang dan naik dari tahun sebelumnya 1. Artinya, orang Indonesia memang membaca, atau setidaknya ada keinginan dan aktivitas ke arah situ. Yang macet mungkin bukan di minat, melainkan di kemampuan dan akses. PISA 2022 memberi gambaran kontras yaitu hanya 25% siswa kita yang bisa mencapai level minimum buat bener bener memahami bacaan 2. Jadi problemnya bukan orang Indonesia ga mau baca, tapi kemampuan membaca sejak dini ga kokoh, dan ekosistem yang menopang kebiasaan itu belum kuat. Klaim “Indonesia peringkat 60 dari 61” sendiri bersumber dari studi World’s Most Literate Nations (2016), yang menilai ekosistem literasi (perpustakaan, koran, ketersediaan bacaan) bukan minat baca secara langsung 3.
Kalau kita pakai kacamata Maslow!, membaca sebenernya berada di level aktualisasi diri. Di puncak piramida itu, manusia mencari makna, pengetahuan, dan pertumbuhan diri. Tapi bagaimana mungkin aktualisasi bisa jadi prioritas kalau kebutuhan dasar belum stabil? Garis kemiskinan kita per September 2024 masih Rp595 ribu per kapita per bulan, dan lebih dari 74 persen pengeluaran rumah tangga miskin tersedot untuk makanan. BPS juga melaporkan 8,47% penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan pada Maret 2025 4. Dalam kondisi ini, membaca memang sering tampak sebagai kemewahan, artinya bukan karena orangnya malas, tapi karena energi mental dan uang habis untuk sekadar bertahan hidup. Kita bisa lihat contohnya pada perbedaan UMR di berbagai wilayah di Indonesia, Jakarta sudah di atas 5 juta IDR, sementara di Jawa Tengah hanya sekitar 2,1 juta IDR 5. Bagi pekerja dengan upah minimum segitu, satu buku seharga seratus ribu rupiah bisa terasa terlalu mahal karena setara dengan ~5% gaji bulanannya.
Faktor lain yang jarang disorot adalah distribusi buku di negeri kepulauan atau daerah daerah yang sulit dijangkau. Harga cetak terus naik, PPN 11% masih berlaku untuk buku umum 6, walau ada pengecualian untuk buku pelajaran dan kitab suci 7. Di sisi lain, distribusi logistik kita juga sangat mahal. Biaya logistik domestik diperkirakan 14 persen dari PDB, dengan kinerja logistik Indonesia berada di peringkat 61 dunia 89. Semua ini dapat dilihat pada harga buku di Papua atau NTT yang bisa dua kali lipat lebih mshal dari di Jakarta. Jadi ketika kita mengatakan “minat baca rendah,” seringkali yang kita maksud sebenernya adalah “harga buku ga masuk akal untuk banyak orang.” Akses fisik dan distribusi yang lambat membuat buku semakin ga deket dengan pembaca di luar kota besar.
Memang ada jalan keluar lewat bacaan digital. Sekitar 79% orang Indonesia sudah terhubung internet 10, dan ini membuka peluang untuk membaca tanpa harus menunggu buku fisik sampai ke pelosok. Tapi akses digital juga ga sepenuhnya merata. Kuota masih mahal untuk banyak keluarga, kualitas jaringan di luar Jawa sering buruk, dan literasi digital belum cukup kuat untuk membedakan mana bacaan yang mendidik dan mana yang hanya sensasional. Jadi, internet belum otomatis menjadi jawaban untuk literasi, apalagi kalau daya belinya tetap timpang.
Ada hubungan menarik antara membaca dan kebahagiaan. Penelitian di negara lain menunjukkan bahwa orang yang rutin membaca untuk kesenangan cenderung lebih sejahtera secara mental. Buku bisa jadi ruang eskapisme, cara meredakan stres, atau jendela untuk memperluas makna hidup. Tapi arah hubungannya dua arah: orang yang sudah lebih sejahtera, dengan waktu luang dan rasa aman, memang lebih mampu menyediakan ruang untuk membaca. Sementara membaca itu sendiri bisa memperkaya kesejahteraan batin 11. Di Indonesia, dilema ini terasa jelas, banyak orang sebenernya pengen baca, tapi kondisi hidup membuat membaca sulit diprioritaskan, sehingga manfaat psikologisnya pun jarang bisa dirasakan penuh.
Namun jika kita menengok akar rumput, kita bisa melihat bahwa minat itu sebenernya ada. Gerakan taman baca masyarakat, gerobak buku keliling, hingga komunitas baca di warung kopi terus bermunculan. Anak anak di desa bisa antusias rebutan buku tipis yang dibawa relawan. Itu bukti bahwa kemauan membaca ga pernah hilang, hanya terhalang oleh struktur. Jadi yang seharusnya kita pertanyakan bukan “kenapa orang Indonesia malas baca?”, melainkan “kenapa sistem distribusi dan ekonomi kita membuat membaca terasa jauh dan mahal?”
Pada akhirnya, narasi tentang minat baca sebaiknya direvisi. Bukan turun, melainkan terhimpit. Bukan malas, melainkan terbebani. Ketika kebutuhan dasar lebih aman, ketika rantai distribusi lebih efisien, ketika sekolah menanamkan kemampuan membaca sejak dini, dan ketika bacaan digital bisa diakses dengan murah dan sehat, membaca akan naik kelas dari sekadar kemewahan menjadi kebiasaan. Dan saat itu terjadi, kita mungkin akan sadar bahwa minat baca orang Indonesia ga pernah bener bener rendah, mungkin ia hanya menunggu ruang untuk bernapas.
Sumber: